Mari bandingkan industri sabut kelapa di
tiga negara Indonesia, Filipina dan Thailand.
Indonesia, pemanfaatan sabutnya belum
serius. Lebih banyak terbuang jadi sampah atau dibakar. Industri sabut nasional
masih dipandang sebelah mata. Bagi pelaku usaha ini bisnis hebat. Masyarakat
belum percaya, mengubah sampah jadi emas. Pemerintah? dulu banyak program
bantuan mesin namun tidak jalan. Sebagian besar jadi barang rongsok.Ironinya kita sibuk merasa besar, padahal Indonesia bukan
lagi negara penghasil kelapa terbanyak dunia. India diam-diam mengambil alih
posisi tersebut sejak tiga tahun lalu.
Filipina, pengembangan industri sabutnya
dijadikan agenda nasional tahun 2013. Sabut menurut mereka bisa menggerakkan
ekonomi pedesaan dan mensejahterakan masyarakat. Salah satu produk modern
sempat didorong pengembangannya yaitu papan organik tanpa lem kimia. Proyek ini
kerjasama dengan salah satu universitas riset terkemuka Belanda. Ideal, hebat
dan canggih. Produknya jadi, tapi ibarat foto dibawah hanya enak dipandang
namun tidak nyaman dipakai. Industrinya tidak berjalan karena pasar tidak siap,
tidak ada yang mau beli.
Thailand lain lagi. Industri kelapa
Thailand didominasi produk pangan kelapa. Karena kuat pariwisatanya, Thailand
mendorong industri sabutnya untuk souvenir. Hasilnya, souvenirnya terkesan
tidak alami dan otentik. Ia berkembang karena dorongan ekonomi semata,
komodifikasi. Padahal mahakarya seni dilahirkan murni untuk tujuan seni itu
sendiri. Keindahan souvenirnya setengah-setengah. Ibarat foto dibawah jenis
kelamin tidak jelas, laki-laki iya tapi lenggak dan pengakuannya wanita.
Selamat berakhir pekan Sahabat Kelapa
Indonesia dimanapun anda berada...